Meminta maaf bukanlah hal yang mudah, apalagi bila emosi masih menyatu dengan ego merasa paling benar, namun bukan berarti memaafkan adalah pekerjaan yang tidak kalah sulitnya. Mungkin karena inilah titah memaafkan adalah sebuah keharusan itu diturunkan.
Selama ini tidak pernah terpikirkan dalam benak saya, berapa besar sifat pemaaf dalam hati, merasa selama ini tidak penah dihadapkan oleh todongan permintaan maaf yang sulit sekali di-iya-kan, selalu saja mengiyakan dan kemudian melupakan.
Namun kali ini, seolah berton-ton batu memberatkan hati dan mengkakukan lidah untuk memberikan ketulusan hati memaafkan dan melupakan sekali lagi seperti biasa.
Bukan, bukan karena hati ini telah tersakiti amat sangat atau apapun itu embel-embel sakit hati lainnya. Alasan hati ini tertimbun berton-ton batu dan lidah menjadi kaku cukuplah sederhana, bahwa si peminta maaf yang selama ini saya kenal adalah seseorang yang bukan pemaaf. Bahwa dia bukan orang pemaaf tetapi disaat dia meminta maaf dia mengkoar-koarkan titah Sang Maha Besar bahwa memaafkan adalah sebuah keharusan.
Dihadapkan dengan oportunis seperti ini, seperti disadarkan bahwasanya saya tidak sepemaaf yang saya pikirkan selama ini. Rupanya pada titik ini memaafkan merupakan pekerjaan terberat yang harus saya hadapi. Sekali lagi, mungkin karena itulah terlahir istilah forgiven but not forgotten alih alih tidak mau memaafkan dengan tulus ikhlas maka tercetus dimaafkan tapi tidak akan aku lupakan, atau dimaafkan tapi gw gk ikhlas. Memaafkan yang bersyarat.
Karena itu kali ini, jawaban maaf yang ambigu seperti Aku maafkan asalkan kamu tidak lagi menggangguku, aku maafkan asalkan aku tidak lagi mau kenal kamu, aku maafkan asalkan kamu bukan lagi temanku adalah pamungkasnya. Itu pun kalau memang harus ada kata maaf.
Selama ini tidak pernah terpikirkan dalam benak saya, berapa besar sifat pemaaf dalam hati, merasa selama ini tidak penah dihadapkan oleh todongan permintaan maaf yang sulit sekali di-iya-kan, selalu saja mengiyakan dan kemudian melupakan.
Namun kali ini, seolah berton-ton batu memberatkan hati dan mengkakukan lidah untuk memberikan ketulusan hati memaafkan dan melupakan sekali lagi seperti biasa.
Bukan, bukan karena hati ini telah tersakiti amat sangat atau apapun itu embel-embel sakit hati lainnya. Alasan hati ini tertimbun berton-ton batu dan lidah menjadi kaku cukuplah sederhana, bahwa si peminta maaf yang selama ini saya kenal adalah seseorang yang bukan pemaaf. Bahwa dia bukan orang pemaaf tetapi disaat dia meminta maaf dia mengkoar-koarkan titah Sang Maha Besar bahwa memaafkan adalah sebuah keharusan.
Dihadapkan dengan oportunis seperti ini, seperti disadarkan bahwasanya saya tidak sepemaaf yang saya pikirkan selama ini. Rupanya pada titik ini memaafkan merupakan pekerjaan terberat yang harus saya hadapi. Sekali lagi, mungkin karena itulah terlahir istilah
Karena itu kali ini, jawaban maaf yang ambigu seperti Aku maafkan asalkan kamu tidak lagi menggangguku, aku maafkan asalkan aku tidak lagi mau kenal kamu, aku maafkan asalkan kamu bukan lagi temanku adalah pamungkasnya. Itu pun kalau memang harus ada kata maaf.
0 celotehan untuk “Kurung Tutup Si Muka Dua”