dua kali, hari ini telah mengucapkan kata maaf sebanyak itu. Pagi hari saat tongeret (apa tonggeret?) membangunkan tidurku, sampai2 ica terheran-heran, hei pagi2 ko udah bangun, hehe (ini kebiasaan gw yg perlu dijelaskan di cerita lain kali) seperti biasa gw langsung menuju kamar mandi. Biasalah rutinitas pagi.
Pagi belum beranjak dari singgasananya gw udah meminta maaf karena tidak bisa memenuhi undangan jamuan makan seorang teman lama, syukurlah maaf diterima.
Sedikit siang, saat pagi sudah tergelincir dan gw sudah bersiap-siap untuk menyelesai to-do-list hari ini. Lagi-lagi, gw teringat dengan satu janji untuk ikut menghadiri workshop yang sangat ingin sekali gw ikuti, tapi sayang sekali karena sebuah task yg belum selesai gw tidak bisa ikut. Karena tidak jadi ikut, dan kemarin sudah mengatakan ingin ikut, terpaksa deh sekali lagi, "maaf saya tidak bisa ikut mungkin lain kali".
Keduanya menerima maaf gw dengan baik. Yang satu dengan begitu saja, 'yah mo gmana lagi' katanya dan yang satu lagi 'ok d kembali sorry..mdh2an acara lu lancar,ok..tenang gis, gw maafin!'
Begitu tegas dan diselingi joke-teman gw yg satu ini rupanya belum berubah, tetap aja suka ngegarink, khasnya yang kadang bikin orang ketawa atau bahkan sebel.
Maaf, begitu mudah kita mengucapkan maaf hari ini, dan memaafkan. Untuk masalah kecil kadang kita lebih mudah mengucapkan maaf dan memaafkan. Tetapi kenapa untuk masalah yang lebih besar dan mendalam susah sekali untuk sekadar mengucapkan maaf dan bahkan memaafkan. Apakah ada korelasi antara besarnya permintaan maaf dengan tulusnya memaafkan. Semakin terlihat kita menyesal dan benar-benar meminta maaf semakin kita bisa memaafkan? Tidak bisakah memaafkan hanya dengan kata maaf tanpa embel2 kata penyesalan yang lain, tidak bisakah? (pertanyaan yg ditujukan untuk gw sendiri)
Pagi belum beranjak dari singgasananya gw udah meminta maaf karena tidak bisa memenuhi undangan jamuan makan seorang teman lama, syukurlah maaf diterima.
Sedikit siang, saat pagi sudah tergelincir dan gw sudah bersiap-siap untuk menyelesai to-do-list hari ini. Lagi-lagi, gw teringat dengan satu janji untuk ikut menghadiri workshop yang sangat ingin sekali gw ikuti, tapi sayang sekali karena sebuah task yg belum selesai gw tidak bisa ikut. Karena tidak jadi ikut, dan kemarin sudah mengatakan ingin ikut, terpaksa deh sekali lagi, "maaf saya tidak bisa ikut mungkin lain kali".
Keduanya menerima maaf gw dengan baik. Yang satu dengan begitu saja, 'yah mo gmana lagi' katanya dan yang satu lagi 'ok d kembali sorry..mdh2an acara lu lancar,ok..tenang gis, gw maafin!'
Begitu tegas dan diselingi joke-teman gw yg satu ini rupanya belum berubah, tetap aja suka ngegarink, khasnya yang kadang bikin orang ketawa atau bahkan sebel.
Maaf, begitu mudah kita mengucapkan maaf hari ini, dan memaafkan. Untuk masalah kecil kadang kita lebih mudah mengucapkan maaf dan memaafkan. Tetapi kenapa untuk masalah yang lebih besar dan mendalam susah sekali untuk sekadar mengucapkan maaf dan bahkan memaafkan. Apakah ada korelasi antara besarnya permintaan maaf dengan tulusnya memaafkan. Semakin terlihat kita menyesal dan benar-benar meminta maaf semakin kita bisa memaafkan? Tidak bisakah memaafkan hanya dengan kata maaf tanpa embel2 kata penyesalan yang lain, tidak bisakah? (pertanyaan yg ditujukan untuk gw sendiri)
Label: jurnal
0 celotehan untuk “maafku hari ini...”